Pernahkah kau menatap lekat mata anak mu ?
Terkadang matanya nanar, terkadang liar. Terkadang berbinar.
Mereka mencari-cari sosok pahlawan yang harus diteladani. Mereka mencari kepercayaan yang menguatkan.
Anak itu harta (semoga Allah mengampuni saya yang lalai mencintai sepenuh hati), hingga kita tak menilainya dengan sia-sia tak berharga. Bagaimanapun keadaannya.
Saya menjadi saksi betapa bahagianya seorang ayah saat bercerita, satu jam setelah tsunami merenggut nyawa semua anaknya, kecuali yang satu, di dekapnya erat.
"ALLAH membahagiakanku, anak cacatku ini adalah harta satu-satunya yang tersisa".
Lelaki tua itu memeluk anaknya, mencium berulang-ulang, menghabiskan air matanya untuk bersyukur.
Mereka terbaring, rebah diantara mayat terbujur kaku, basah dan sepi di sisi kanan halaman perpustakaan Universitas Syiah Kuala. Tempat dimana korban syahid tsunami dikumpulkan hingga berhari-hari.
Tak lama bersama saya, setelah itu mereka berdua memilih cara hidup bahagia kembali di pengungsian atau mencari keluarga lainnya.
Tempelan kertas berisi nama dan photo bocah-bocah yang hilang,menghiasi hari-hari sepi orang tua. Ramai di dinding-dinding dan tembok masjid, meski photo mereka tersenyum, duka adalah ceritanya.
****
Waktu kita ternyata tak banyak. Sejenak dua jenak, mereka lepas dari masa kanaknya. Sedangkan kita beranjak lupa tentang masa muda. Lupa untuk bercerita. Kisah sedih semua. Kisah hidup yang tak sempurna mencintai.
Kau akan kehilangan kesempatan menatap mata jenaka anak-anakmu.
Maka, singkirkan TV dari rumah mu, kita ingin kisah nyata dari mereka.
biarkan mereka menulis isi hatinya,
Tentang kamu, tentang becek, tentang ikan atau tentang kesedihannya.
Tak cukup kertas? berikan dinding rumahmu.
Dinding kotor coretan meninggalkan sejarah indah tentang mereka.
Anak yang kering perhatian tak akan meninggalkan apa-apa,
kecuali dendam.