Sebuah bisikan menghampiriku saat melintas di jalan raya yang terik menyengat membuat gerah. Mengingatkanku delapan tahun lalu. Atau lebih lama lagi. Jalan itu dulu pernah kami lewati bersama. Aku dan fatimah dan Hamzah dan Khalid dan Umar. Anak kami baru tiga.
Kata orang, kami keluarga Berencana.
Begitulah. Istriku, almarhumah Fatimah, menyediakan apa saja untuk aku tulis. Tentang perjalanan hidupnya, komitmennya, tentang calon istri penggantinya jika kelak ia wafat, bahkan tentang kematian dirinya yang indah.
Berawal dari kisah lucu saat hamil anak pertama kami, Fatimah tetap hadir di tengah lapangan bola Jeulingke, Banda Aceh, mengikuti kampanye pemilu pertama Partai Keadilan (PK) tahun1999.
Tubuhnya yang mungil dan hamil tua, tak sekalipun mengeluhkan terik matahari ataupun hujan yang mengguyur lapangan kampanye. Di panggung utama, Anis matta berorasi begitu penuh energi.
Bagi Fatimah ini adalah kebahagiaan yang begitu indah. Menjadi istri, menjadi calon ibu.
Teman-teman kami banyak yang belum menikah. Mereka masih merindukan dan penasaran siapa pasangan hidupnya diantara sekian banyak yang hadir di lapangan itu. Dulu ada lirik nashid yang bikin kami tersipu malu,
"aapa bila telah tiba masakuu, untuk segera mengakhiri lajangkuuu.."
Sayapun suami yang lugu. Tak menyadari jika istri sedang menunggu hari untuk melahirkan.
Tak baik membiarkan istri demo dan berpanas-panas kampanye,tetangga sampai marah,
"hati-hati laaa, nanti bisa melahirkan di lapangan bola" katanya menegur.
Fatimah senyum-senyum saja.
Saya juga awalnya tak menyadari kalo istri saya seorang PNS berseragam korpri yang tidak ambil peduli tentang suaminya yang cuma tukang spanduk.
Memang, istriku luchu..
Delapan tahun kemudian, kehidupan kami semakin berwarna. Anak ketiga lahir, dan Fatimah divonis gagal ginjal dengan dua pilihan : cuci darah seumur hidup, atau transpalansi ginjal seharga setengah milyar rupiah. Vonis itu disertai petir dan hujan yang meraung di luar ruang rawat Rumah Sakit Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI).
Sejak itu kami menuliskan ikrar siap mendonorkan apa saja organ tubuh kami jika ada yang membutuhkan, meskipun kami sudah mati. kini Ikrar itu masih berlaku untuk saya.
*********
Kompanye, Kampanye
Tahun 2007, ada pilkada lagi. ada kampanye lagi. Kali ini di Jantho Aceh Besar. Allah mengizinkan istriku yang lucu untuk menghadiri kampanye itu.
Sambil kupapah berjalan sejauh 400 meter ke tempat mobil jemputan datang, Fatimah berbisik "Ummi harus hadir di setiap agenda jamaah" katanya gembira. Suaranya pelan dan agak tersipu.
Setiap minggu Fatimah harus cuci darah dua kali. Jantungnya jadi besar dan mengguncang tubuhnya saat tidur.
Kami melangkah pelan. Meski pelan, tapi terasa singkat sekali. debu jalanan itu kelak akan menjadi saksi.
Sesaat kemudian mobil yang ditunggu datang. Sebuah mobil bak terbuka L 300 yang sedang mengangkut pasir. Kami duduk bertiga dengan supir. Perjalanan siang ini sejauh 45 Kilo meter dari banda Aceh menujunkota Jantho.
Di lapangan kota Jantho, istriku dengan bahagianya tetap berbaris mendengar orasi. Di atas panggung utama ada Ustadz Nasir Djamil, ustadz Mustanir Yahya, keuchik Ali, dan pak Azwar abu Bakar. Mereka calon kepala Daerah di Aceh.
Saya pun tak begitu jauh dari Fatimah. Karena Fatimah adalah belahan jiwa. Kami tak bisa saling berjauhan.
saat bubar, kami diajak menumpang mobil adinda Razas dan Istrinya ulfa. kdeua mereka ini keluarga kami, adik adik kami.
*****
Sekali waktu, saat saya diamanahkan sebagai ketua fraksi PKS Aceh Besar dan masih malu-malu pakai pakain rapi jali. Apalagi pakai dasi,Fatimah meminta saya mengantarkan dirinya ke rumah murabiyahnya, ustadzah Rita Indahyati. Istri ustadz Raihan Iskandar.
Kali ini Fatimah tak perlu berbisik "Ummi harus hadir di semua agenda jamaah".
Saya sudah paham. Dia tak mampu membendung cinta kepada jamaah ini.
Saya menggendongnya perlahan turun dari mobil dinas. Lembut sekali. Selama delapan tahun, perempuan cantik ini tak pernah mengaduh.
Dia hanya mengeluh jika tak maksimal dalam menghafal Alquran.
Fatimah ada jadwal Halaqah hari itu. Dia merindukan murabbiyah dan sahabat-sahabatnya.
Saya pun menunggunya di luar. Tak bersama sekian jam begitu terasa.
Biasanya, Saat tak bersama, saya selalu sms Fatimah,
"Mi, tau nggak, abi sedang doakan Ummi". setiap SMS selalu disertai cinta.
Fatimah menjawab " iya bi" jawaban singkat ini terasa dialog hati yang panjang.
Matanya selalu berbinar saat saya pulang dari tugas.
seperti seorang anak kecil yang berbahagia melihat bungkusan kado dari orang tuanya.Saya rasakan getaran itu. karena dia selalu berucap "Alhamdulillah Abi pulang".
Satu tahun kemudian Fatimah pergi. Kami tak lagi bersama.
#Banda aceh, warkop tri in one. 31 Maret 2016